Uploaded by Agus Yuniarso

Rumpun Singkong di Tanah Surga (Kabare Magazine, Mei 2013)

advertisement
REGOL KABAR UTAMA
10
Mei 2013
Singkong pun
Naik Kelas
Teks: Della Yuanita; Foto: Budi Prast
S
iapa tak mengenal singkong?
Makanan tradisional ini dapat
dibilang sangat populer di Indonesia.
Singkong mungkin bisa dikatakan menjadi
legenda yang mampu menghidupi jutaan
rakyat Indonesia dari rasa lapar yang
melanda di zaman penjajahan. Dilihat dari
sejarahnya, singkong merupakan tanaman
pangan berupa perdu dengan nama lain ubi
kayu.
Singkong atau cassava (manihot utilissima)
pertama kali dikenal di Amerika Selatan
yang dikembangkan di Brazil dan Paraguay
pada masa prasejarah. Potensi singkong
menjadikannya sebagai bahan makanan
pokok penduduk asli Amerika Selatan
bagian utara, Selatan Mesoamerika, dan
Karibia, sebelum Columbus datang ke
Benua Amerika. Ketika bangsa Spanyol
menaklukkan daerah-daerah itu, budidaya
tanaman singkong pun dilanjutkan oleh
kolonial Portugis dan Spanyol. Di
Indonesia, singkong dari Brazil
diperkenalkan oleh orang Portugis pada
abad ke-16. Selanjutnya, singkong ditanam
secara komersial di wilayah Indonesia
sekitar tahun 1810-an.
Kini, saat sejarah tersebut terabaikan,
singkong menjadi bahan makanan yang
merakyat dan tersebar di seluruh pelosok
Indonesia. Singkong bahkan tak lagi
menjadi panganan kampung dan ndeso.
Singkong kini telah berhasil berevolusi
menjadi beragam bahan pangan yang
nikmat dan diburu banyak orang dan
menjadi sangat populer. Bahkan, singkong
pun memiliki sebutan yang cukup keren
yakni roti sumbu. Bila orang barat memiliki
roti gandum maka orang Indonesia juga
memiliki roti rakyat yakni roti sumbu. Inilah
sinonim dari ketela pohon atau singkong.
Disebut roti sumbu karena potongan
singkong yang telah matang memiliki batang
tipis di tengahnya dan batang tipis itu
disebut “sumbu”. Bersamaan dengan
hadirnya tren sarapan sehat, baru-baru ini
singkong juga diklaim sebagai salah satu
menu sarapan terpopuler di Indonesia.
Kini, singkong mulai beranjak
menempatkan dirinya ke level yang lebih
tinggi. Dia telah bersiap naik kelas, karena
kini beraneka ragam usaha makanan yang
berbahan dasar singkong mulai tersebar dan
menjamur. Berbagai inovasi produk
berbahan singkong pun diproduksi. Mulai
dari beragam kudapan lezat hingga aneka
tepung yang berasal dari singkong dan
sudah dipasarkan hingga menembus pasar
dunia.
Seperti yang kita ketahui bahwa di dunia
ada tren peralihan orang dari konsumsi
tepung terigu ke tepung singkong. Di
beberapa negara, seperti Jepang, Korea dan
Amerika, popularitas tepung singkong ini
melebihi tepung terigu. Di Jepang,
misalnya, harga tepung singkong empat kali
lebih mahal dari tepung terigu karena dinilai
lebih bergizi dan mengandung betakarotin
yang berguna bagi pencernaan.
Sebagai negara yang termasuk lima
besar negara penghasil singkong terbesar di
dunia dengan produksi 2 juta ton per
tahun, potensi dan peluang singkong untuk
semakin naik kelas jelas terbuka lebar.
Tentunya, selain dibutuhkan kemauan yang
tinggi, kita juga harus menggali ide kreatif
untuk terus berinovasi dalam mengolah
produk berbahan singkong.+
Mei 2013
11
REGOL KABAR UTAMA
Rumpun Singkong
di Tanah
Surga
Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast
M
asih ingat lagu “Singkong dan
Keju”? Karya Ari Wibowo yang
pernah begitu populer di tahun
1980-an ini dengan jenaka menggambarkan
realitas perbedaan kelas sosial di Indonesia
yang ada kala itu, yang boleh jadi tak
banyak berubah di zaman ini.
Singkong dan keju, dua jenis bahan
makanan yang berbeda rupa dan
citarasanya, dipergunakan sebagai analogi
12
Mei 2013
bagi dua kondisi yang berbeda. Keju
diposisikan identik dengan budaya asing
yang bergelimang gengsi dan kemewahan,
sementara singkong diidentikkan dengan
citra pribumi yang lekat dengan
keterbatasan, keterbelakangan, bahkan
kemelaratan, juga kampungan. Bagai
tergambar di sekeping uang logam, tak
hanya berbeda, keduanya bahkan bertolak
belakang.
Jika ditanya, “manakah yang lebih
Indonesiawi, singkong atau keju?” Sebagian
orang boleh jadi akan menjawab dengan
tepat tanpa berpikir seribu kali.
Singkonglah jawabnya, karena memang
demikianlah realitas pencitraannya. Padahal,
dalam sudut pandang etnosentris, singkong
dan keju memiliki realitas yang sama. Meski
lebih membumi dan merakyat, singkong
pun ternyata tak beda dengan keju, sama-
Singkong atau biasa dikenal juga dengan
nama ketela (Manihot utilissima)
merupakan tanaman tahunan tropika
dan sub tropika yang bersal dari keluarga
Euphorbiaceae
Gatot
sama bukan kultur asli Nusantara.
Singkong atau biasa dikenal juga dengan
nama ketela (Manihot utilissima) merupakan
tanaman tahunan tropika dan sub tropika
yang bersal dari keluarga Euphorbiaceae.
Hasil utamanya berupa umbi dikenal luas
sebagai salah satu makanan pokok
penghasil karbohidrat di samping beras dan
jagung yang merupakan makanan pokok
khas masyarakat Indonesia.
Mei 2013
13
REGOL KABAR UTAMA
Di belahan dunia lain pun demikian,
menjadi salah satu bahan makanan pokok
yang dominan, terutama di berbagai negara
berkembang yang beriklim tropis. Tanaman
ini lazim tumbuh hingga bentang area 30
derajat di sisi utara dan selatan garis
khatulistiwa, pada ketinggian hingga 2.000
meter di atas permukaan air laut, pada
kisaran suhu antara 18 hingga 25 derajat
Celcius, dengan curah hujan antara 50
hingga 5.000 milimeter per tahun.
Kemampuannya untuk tumbuh dan
bertahan hidup di lahan yang relatif kering
membuatnya seringkali diandalkan sebagai
bahan makanan cadangan, terutama di
wilayah yang curah hujannya tidak dapat
diandalkan.
Singkong dikenal dan dijumpai pertama
kali di bagian selatan dan tengah benua
Amerika dan mulai dibudidayakan sejak
masa prasejarah. Sejumlah bukti arkeologis
menunjukkan bahwa tanaman ini sudah
tumbuh di Peru sekitar 4.000 tahun yang
lampau dan di Meksiko sekitar 2.000 tahun
yang lampau, sementara bukti budidayanya
di masa prasejarah dijumpai di seputar
wilayah Brazil dan Paraguay.
Dari benua Amerika, “nenek moyang”
singkong pun kemudian menyebar ke
berbagai penjuru dunia, tepatnya pasca
kedatangan Christoper Columbus di benua
itu di penghujung abad ke-15. Dalam
beberapa abad kemudian, tanaman ini
sudah mulai dikenal di pantai barat Afrika
serta wilayah Zaire, berkembang ke wilayah
Madagaskar dan Zanzibar di Afrika Timur
hingga di sebagian wilayah India.
Tiwul
Singkong dikenal dan dijumpai pertama
kali di bagian selatan dan tengah benua
Amerika dan mulai dibudidayakan sejak
masa prasejarah. Sejumlah bukti
arkeologis menunjukkan bahwa tanaman
ini sudah tumbuh di Peru sekitar 4.000
tahun yang lampau
14
Mei 2013
REGOL KABAR UTAMA
Sekitar tahun 1850-an, singkong telah
dijumpai tumbuh merata pada daerah
tropis di luar benua Amerika, terbentang
dari wilayah Afrika hingga Asia Tenggara.
Dalam tinjauan etimologi, “ketela”
sebagai nama lain singkong, konon berasal
dari istilah “castilla”, nama sebuah kerajaan
di abad pertengahan yang menjadi
pendahulu Kerajaan Spanyol. Dahulu,
istilah ini lazim dipergunakan sebagai
penyebutan lain bangsa Spanyol yang
bersama bangsa Portugis menyebarluaskan
bibit tanaman ini ke penjuru dunia,
termasuk ke seputar wilayah Nusantara.
Meski sudah mulai diperkenalkan oleh
kedua bangsa penjelajah ini sejak sekitar
abad ke-16, singkong baru mulai
dibudidayakan secara komersial di wilayah
Indonesia sekitar tahun 1810-an, pada masa
pemerintahan Hindia Belanda.
Saat ini, tanaman singkong umumnya
mampu tumbuh dan beradaptasi sehingga
dengan mudah dapat dijumpai di hampir
seluruh pelosok Indonesia. Dalam
perkembangannya, setiap daerah pun
16
Mei 2013
Perkembangan jenis tanaman ini juga tak lepas
dari local genius yang penuh kreasi dalam
menyiasati keterbatasan menjadi kesempatan yang
lebih baik. Salah satu contohnya adalah jenis
singkong legendaris yang dikenal dengan nama
Singkong Mukibat
memiliki istilah lokal yang khas dalam
menyebut tanaman perdu ini. “Singkong”
sendiri semula adalah istilah yang
dipergunakan oleh orang Sunda, di
samping istilah “sampeu” yang juga dipakai
untuk menyebutkannya. Orang Melayu
menyebutnya sebagai “ketela pohon” atau
“ubi kayu” dan orang Jawa menamainya
dengan istilah “telo” atau “pohung”. Dalam
Bahasa Sangihe, ketela disebut dengan
istilah “bungkahe”, sementara dalam Bahasa
Tolitoli disebut dengan istilah “kasubi”.
Domestikasi tanaman singkong di bumi
Nusantara telah berlangsung selama
berabad-abad hingga memengaruhi bentuk
atau penampilannya seperti yang bisa
dilihat pada saat ini. Cikal bakal singkong
yang pertama kali ditanam di Nusantara,
boleh jadi tak dapat lagi ditemukan di alam
bebas. Yang masih bisa dijumpai adalah
berbagai jenis varietas lokal turunan yang
bentuk dan tampilannya berbeda dengan
nenek moyangnya.
Perkembangan jenis tanaman ini juga
tak lepas dari local genius yang penuh kreasi
dalam menyiasati keterbatasan menjadi
kesempatan yang lebih baik. Salah satu
contohnya adalah jenis singkong legendaris
yang dikenal dengan nama Singkong
Mukibat. Jenis singkong ini diberi nama
dengan mengabadikan sosok yang berhasil membudidayakannya.
Pak Mukibat (1903-1966) adalah seorang petani asal Desa
Ngadiluwih di wilayah Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Berkat
ketekunan dan kreativitasnya, ia berhasil “mengawinkan” dua jenis
singkong yang berbeda, yaitu jenis singkong biasa (Manihot
esculenta) dan jenis singkong karet atau gendruwo (Manihot glaziovii).
Jika singkong biasa hanya tumbuh antara 1,5 hingga 3 meter,
pohon singkong karet bisa mencapai tinggi hingga 10 meter
dengan daunnya yang tumbuh lebar dan lebat. Sayangnya, jenis
singkong karet ini tidak menghasilkan umbi. Pak Mukibat berupaya
menyambung singkong biasa dengan singkong karet, bukan
dengan perkawinan silang, namun menggunakan teknik
penempelan mata tunas dari kedua batang yang berbeda jenis itu.
Setelah berulang kali melakukan uji coba, upaya Pak Mukibat
pun membuahkan hasil dengan lahirnya jenis pohon singkong
baru yang menghasilkan umbi lebih banyak, lebih besar dan lebih
berat. Namanya pun melekat abadi bersama jenis pohon singkong
istimewa hasil temuannya ini.
Kini, tak hanya nama dan jenis singkong yang kemudian
berkembang beraneka rupa. Pemanfaatan berikut produk
olahannya pun berkembang dalam banyak macam dan ragamnya.
Di Indonesia, sebagaimana di berbagai negara di seputar wilayah
khatulistiwa, umbi singkong menjadi bahan makanan pokok
alternatif di samping beras dan jagung, baik dengan diolah
langsung maupun sebagai bahan baku. Umbi singkong yang dapat
Gethuk
REGOL KABAR UTAMA
dimakan mentah dapat menjadi sumber
akhirnya. Selain dapat dikonsumsi secara
sebagai peuyeum gantung, sesuai dengan cara
energi yang kaya akan karbohidrat. Bagian
langsung, tape singkong ini dapat diolah
menjajakannya yang digantung. Di Jawa
dalam umbinya berwarna putih atau
kembali menjadi berbagai makanan ringan
Timur, tape singkong lebih dikenal dengan
kekuning-kuningan dengan kandungan
seperti rondho royal dan colenak, atau
istilah tape pohung dengan pusat
utama berupa pati dengan sedikit glukosa
dicampur dengan makanan atau minuman penghasilnya berada di seputar Bondowoso
sehingga rasanya sedikit manis. Selain
lainnya, seperti kolak, es cendol, es campur dan sekitarnya.
umbi, daunnya pun dapat
Selain melalui proses
dimanfaatkan sebagai sayuran
fermentasi, hasil olahan
yang menjadi sumber protein
singkong pun terbilang sangat
Selain
menjadi
bahan
baku
makanan,
karena kandungan asam amino
beragam. Di Jawa saja, terdapat
perkembangan teknologi pengolahan
metionina yang dimilikinya.
begitu banyak jenis makanan
tradisional yang memanfaatkan
Pemanfaatan singkong tak
telah memungkinkan singkong
singkong sebagai bahan
sebatas sebagai bahan makanan
menjadi
produk
industri
seperti
dasarnya, baik yang berasal dari
pokok. Dengan beragam cara
pengolahan langsung, maupun
pengolahannya, singkong dapat
tepung tapioka, alkohol, glukosa,
yang terbuat dari tepung tapioka
dikonsumsi dalam berbagai cara
aseton, dekstrin, etanol, gasohol, dan
atau tepung kanji, tepung yang
dan citarasa yang beragam.
sebagainya
terbuat dari umbi singkong.
Setiap daerah pun memiliki ciri
Sebut saja beragam jenis gethuk,
dan sentuhan yang berbedasawut, gathot, thiwul, growol,
beda hingga melahirkan folklore
bengawan solo, cenil, oyol-oyol, horokmakanan tradisional yang
atau es doger. Di Jawa Barat, tape singkong
horok, dan sebagainya.
beraneka rupa. Meski serupa, tapi tak selalu ini dikenal dalam Bahasa Sunda dengan
Selain menjadi bahan baku makanan,
sama.
istilah peuyeum. Tape kering menjadi buah
perkembangan teknologi pengolahan telah
Fermentasi menjadi salah satu cara
tangan khas yang populer di daerah
memungkinkan singkong menjadi produk
pengolahan singkong yang populer, di
Purwakarta dan Subang yang dikenal
industri seperti tepung tapioka, alkohol,
mana tape singkong menjadi produk
18
Mei 2013
glukosa, aseton, dekstrin, etanol,
gasohol, dan sebagainya. Singkong juga
banyak diolah sebagai bahan baku
beragam industri, dari obat-obatan dan
kosmetika, menjadi bahan baku perekat,
pasta, karamel, permen karet, hingga
pakan ternak.
Singkong, tampaknya memang tak
bisa dipandang sebelah mata. Di tingkat
dunia, hasil bumi ini telah menjadi
komoditi perdagangan yang sangat
potensial. Pada tahun 2002, produksi
singkong dunia ditaksir mencapai angka
184 juta ton. Sebagian besar di antaranya
dihasilkan di Afrika, Amerika Latin dan
Kepulauan Karibia. Menarik untuk
dicatat bahwa pada tahun 2008,
Indonesia telah menduduki posisi ke-3
dari total produksi singkong dunia, di
bawah Nigeria dan Brazil, dengan total
produksi sebanyak 24.009.600 ton.
“Orang bilang tanah kita tanah surga,
tongkat kayu dan batu jadi tanaman …”
Sepotong pujian kemakmuran yang
didendang oleh Koes Plus dalam lagu
“Kolam Susu” di tahun 1970-an ini, semoga
Cenil
memupuk
kembali kebanggaan kita akan anugerah
Nusantara yang begitu subur dan
menjanjikan limpahan kemakmuran ini.
Bukan kebanggaan sebagai tempat di
mana segala hal berasal, tetapi sebagai
sebuah lokus yang menjadi titik temu
dalam persilangan budaya, di mana
ragam budaya dari penjuru dunia
berbaur harmonis dengan kearifan lokal
dan melahirkan turunan khas yang
terjaga lestari.
Rumpun singkong yang tumbuh
subur di tanah surga ini, hanya secuil
contoh di mana sesuatu yang tampaknya
sepele, ternyata tak dapat dipandang
sebelah mata, tergantung bagaimana kita
merawat dan menyikapinya. +
REGOL KABAR UTAMA
Singkong
dan
Rupa-Rupa Olahannya
Teks: FA Herru; Foto: Budi Prast, Albert
K
etela atau singkong memang sangat populer, namun
sebagai makanan ia juga sering dipandang sebelah mata.
Meski sudah banyak kudapan dari singkong, entah
kenapa orang masih menomorduakannya bila bersanding dengan
makanan-makanan khas barat atau yang lebih modern. Itulah
mengapa, singkong dianggap “tradisional”. Tapi, label tradisional
yang seringkali dilekatkan pada singkong itu, sepertinya lama
kelamaan bakalan pudar.
Belakangan, meski baru sebagian orang saja yang mulai mau
mengonsumsi singkong, toh kesadaran untuk itu sudah mulai
muncul lagi. Kalau dilihat dari segudang manfaatnya, sebenarnya
label itu sangat tidak pantas dilekatkan padanya. Sebab singkong
merupakan sumber karbohidrat terpenting ketiga setelah beras dan
jagung, di samping beragam manfaatnya yang lain, serta
merupakan komoditas unggul dalam rangka ketahanan pangan
nasional.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa lidah orang Indonesia
sudah sangat terbiasa dengan nasi atau beras. Setelah tahun 1970an, nasi menjadi budaya baru masyarakat. Bahkan ada semacam
kredo yang mengatakan bahwa seorang yang dapat mengonsumsi
20
Mei 2013
nasi setiap hari menunjukkan dia orang berpunya. Nasi pun dicap
sebagai makanan orang modern di kala itu. Dengan semakin
bertumbuhnya kemampuan ekonomi masyarakat serta semakin
membudayanya beras, kemudian lambat laun beras menjadi
makanan pokok. Dia dijadikan asupan utama karbohidrat yang
tidak lagi didominasi kaum berpunya.
Konsumsi nasi yang kian membudaya ini, tentu saja
menyebabkan tingkat kebutuhan beras menjadi sangat tinggi.
Makanan sumber karbohidrat selain beras, lama-lama semakin
ditinggalkan dan bahkan menjadi asing di lidah masyarakat sebagai
makanan sehari-hari. Hingga pada suatu titik waktu, pemerintah
Indonesia sampai harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi beras dalam negeri.
Seperti yang kita tahu, suburnya tanah Indonesia sejatinya
merupakan surga bagi berbagai macam jenis tanaman. Tanamantanaman sumber karbohidrat pun tak sulit ditemui dan
dikembangbiakkan. Tetapi budaya makan yang berkembang,
akhirnya membuat jagung, kentang, singkong atau umbi-umbian
lain, yang sebetulnya bisa menjadi hidangan pokok setiap hari di
meja makan, kemudian semata wayang tergantikan oleh beras.
Sekarang, kian meningginya kebutuhan masyarakat pada beras,
menjadi suatu fenomena tersendiri pada yang namanya ketahanan
pangan. Meskipun telah mampu mempertahankan ketahanan
pangan dengan kebijakan mengimpor beras, namun negara kita
masih jauh untuk dapat dikatakan swasembada pangan. Menurut
catatan FAO, suatu negara dikatakan sudah swasembada pangan
apabila bisa memenuhi kebutuhan pangannya sebesar 90% dari
dalam negeri.
Dengan kenyataan itu, bilamana singkong dan teman-temannya
yang lain dibiasakan dijadikan hidangan sehari-hari masyarakat,
dan tidak harus bergantung pada nasi, pastinya negara
kita ini justru akan dapat menjadi salah satu
pengekspor beras dunia. Karena itu, budaya makan
singkong atau tanaman sumber karbohidrat lain selain
beras, rasanya sudah saatnya harus dibudayakan lebih
luas lagi kepada masyarakat, seperti halnya beras.
Berkaitan dengan ketahanan pangan, pemerintah
sendiri sebenarnya bukannya tak berpihak pada
diversifikasi. Melalui kementeriannya dan dinas-dinas
terkait, pemerintah justru sudah memberi imbauan
agar masyarakat mengonsumsi singkong sebagai
alternatif konsumsi tambahan. Badan atau dinas
pemerintahan terkait juga sering melakukan bermacam
kegiatan bersama bermacam institusi pendidikan,
peneliti, maupun organisasi masyarakat yang intens
kepada produk pangan lokal, berkaitan dengan diversifikasi pangan
dan pembudayaan singkong sebagai pangan alternatif.
”Kenapa singkong yang dipakai untuk menunjang ketahanan
pangan? Karena setelah diungkap dari sisi keilmuan, ubi kayu atau
singkong punya berbagai macam manfaat dan khasiat yang bagus
sekali untuk tubuh. Selain itu, hasil pertaniannya pun cukup besar,”
ungkap staf ahli Pusat Kajian Makanan Tradisional (PMKT)
Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Murdijati Gardjito.
Bagi kesehatan, singkong memang memberikan banyak
manfaat. Singkong memiliki khasiat antioksidan, antikanker,
Singkong Penyet
Mei 2013
21
REGOL KABAR UTAMA
antitumor, dan dapat meningkatkan nafsu makan. Dalam per 100
gram singkong itu meliputi kalori 121 kal, air 62.50 gram, fosfor
40.00 gram, karbohidrat 34.00 gram, kalsium 33.00 miligram,
vitamin C 30.00 miligram, protein 1.20 gram, besi 0.70 miligram,
lemak 0.30 gram, dan vitamin B1 0.01 miligram.
Tanaman singkong sendiri sangat mudah tumbuh. Di lahan
tanah yang tak subur pun, dia mampu tumbuh. Potensi
ketersediaan singkong cukup melimpah di bumi nusantara ini.
Dengan 8 daerah sentra produksi; Sumatera Utara, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTT, Sulawesi
Selatan, berjuta-juta ton singkong dapat dihasilkan dan
diperkirakan akan mampu mencukupi kebutuhan pangan pokok
penduduk Indonesia. Bahkan di
tahun 2014, ada angka yang ingin dicapai dalam produksi singkong
nasional, yaitu minimal 20 juta ton per tahun.
Itulah setidaknya mengapa singkong dijadikan bahan pangan
alternatif. Selebihnya dari itu, kini tinggal bagaimana
memasyarakatkan kembali atau membudayakan konsumsi
singkong pada masyarakat luas. Sejak dulu singkong sebenarnya
sudah akrab pada ragam kulineri kita. Bermacam kudapan dibuat
atau berbahan dasar singkong sudah ada sejak dulu. Thiwul
misalnya, merupakan kudapan berbahan singkong yang diolah
menjadi kudapan padat yang dulu jadi makanan pokok masyarakat
Gunungkidul. Kini thiwul telah menjadi panganan khas yang
banyak dikemas menarik sebagai kudapan khas untuk oleh-oleh.
Panganan tradisional lain, misalnya gethuk, sawut, gatot,
lemet, lenthuk, cemplon, combro, misro, berdopo, iwel-iwel,
mendud, cireng atau cilok. Semua berbahan dasar singkong
yang masing-masing punya citarasa berbeda. Seperti halnya
thiwul, jika saja panganan-panganan ini dikemas lebih baik
dan menarik, besar kemungkinannya mereka bisa sejajar
dengan kudapan-kudapan modern.
Pengemasan memang menjadi salah satu cara untuk
mengangkat kembali panganan tradisional agar tetap eksis
dan mampu bersaing dengan panganan lain. Hal ini juga
merupakan upaya agar yang tradisional jauh dari kesan kuno
dan kampungan. Selain diolah menjadi makanan-makanan
semacam itu, singkong juga dapat diolah menjadi bebeapa
jenis tepung. Tepung mokaf, misalnya. Tepung-tepung itu
ng (Dok. PKMT UGM)
Bakpia berbahan singko
Sup cream ketela
22
Mei 2013
Mie lethek goreng
Gethuk gondok
dapat
menjadi bahan dasar membuat panganan lain. Tepung mokaf
bahkan bisa dijadikan pengganti tepung terigu yang biasa jadi
bahan dasar membuat bermacam kue, cake, tart atau roti.
Pengolahan tepung yang dijadikan bermacam ragam kudapan
seringkali menjadi konsentrasi para penggerak PKK, serta
organisasi pengembangan pangan lokal (Slowfood Indonesia,
misalnya), untuk memperkenalkan dan upaya membudayakan
pengembangan hasil-hasil bumi nusantara kepada masayarakat
umum.
Menurut Amaliah, salah satu staf PMKT UGM yang juga
aktivis gerakan Slowfood Indonesia di Yogyakarta, ada sebuah
penelitian yang mengatakan bahwa pangan lokal adalah pangan
REGOL KABAR UTAMA
Bera ketela goreng
Ketela goreng sayur
yang cocok untuk untuk masyarakat setempat. Jadi pangan
lokal harus dibuat, didampingi, menjadi satu produk yang
berkualitas dan kemudian dapat dihasilkan sendiri oleh
masyarakat.
Ia mencontohkan pula bahwa PMKT UGM telah
melakukan bermacam kerjasama, yang salah satunya
dengan penggerak PKK di Sleman, Yogyakarta,
melakukan kegiatan memperkenalkan tepung mocaf
untuk dijadikan aneka olahan. ”Seperti kegiatan lomba
yang diikuti 1.200 desa, membuat berbagai olahan dari
mocaf. Kita mau mengenalkan, terutama kepada generasi
muda, bahwa singkong sebagai bahan baku mocaf,
Burger (Dok. PMKT UGM)
tepungnya bisa diolah menjadi aneka ragam makanan.
Makanan lokal tetapi disajikan dengan tampilan global,”
dapat
ujarnya.
dikonsumsi sehari-hari. Menurutnya, sebenarnya singkong dapat
Membudayakan singkong kepada masyarakat memang bisa
diolah menjadi bermacam hidangan lezat dengan bumbu-bumbu
dilakukan melalui bermacam hal. Tak sedikit memang upaya-upaya tradisional yang mudah ditemukan di pasar.
yang dilakukan pihak-pihak terkait untuk itu. Singkong kini
Soup cream dari singkong, telo penyet, ketela goreng sayur, mie
memang telah melintas zaman dan diupayakan untuk dapat
lethek goreng, beras ketela goreng, adalah beberapa contoh
ditampilkan dengan citarasa global dalam rupa-rupa makanan dari
masakan berbahan singkong inovasinya. Sudah sejak tahun 2011
olahan tepungnya. Namun begitu, sebenarnya singkong juga bisa
pria asal Sleman kelahiran Papua ini berkonsentrasi mengolah
diolah menjadi menu-menu masakan yang dapat dikonsumsi setiap singkong. Waktu itu, Boni memang sedang baru-barunya
hari.
menjalankan bisnis rumah makannya yang menyajikan menu-menu
Seperti halnya yang telah dilakukan pria yang satu ini.
berbahan dasar singkong.
Bonivasius Esdharyanto, konseptor dan konsultan restoran,
Sampai sekarang, ia telah dapat menginovasi singkong menjadi
mengolah singkong menjadi bemacam varian menu menarik yang
78 masakan. Bagi Anda yang hendak mencobanya, Anda cukup
24
Mei 2013
Bak Pao
berkunjung ke Kampung Labasan Resto yang berada di daerah
Pakem, Sleman, Yogyakarta. Karena inovasinya ini, Boni
kemudian mendapat banyak respon positif dari Badan
Ketahanan Pangan baik provinsi maupun pusat, dari
kementerian, mahasiswa, juga dari orang-orang yang
berkecimpung di dunia yang berkaitan dengan singkong, serta
mereka yang memang gemar menyantap singkong.
Pria satu ini pun seringkali diundang dalam berbagai kegiatan
untuk turut serta membagikan hasil-hasil inovasinya, serta upaya
membudayakan singkong pada masyarakat. Selain Boni,
sebenarnya ada juga beberapa pengusaha makanan yang
berupaya mengolah singkong atau tepungnya, menjadi kudapankudapan inovatif yang sebetulnya bisa dilakukan juga oleh
masyarakat pada umunya.
Zaman modern ini memang menuntut kreativitas dan
inovasi. Untuk mengangkat singkong sederajad dengan kudapankudapan modern, serta keberhasilan diversifikasi pangan,
diperlukan upaya pembudayaan dan inovasi. Singkong, yang
dianggap sebagai makanan biasa-biasa saja, nyatanya bisa diubah
menjadi luar biasa.
Kini tinggal kita sendiri. Sebagai masyarakat Indonesia, sudah
seharusnya kita juga turut peduli dengan kemaslahatan ini.
Anjuran pemerintah untuk menjadikan singkong sebagai
alternatif makanan pokok, mustinya kita tanggapi secara positif
dengan turut serta membudayakan diri kita sendiri untuk
menyantap singkong. +
Download